Social Icons

Pages

Sabtu, 25 Februari 2012

KH. ACHMAD SHIDDIQ

KH. Achmad Shiddiq lahir di Jember pada hari Ahad legi 10 Rajab 1344 H, atau tanggal 24 Januari 1926 M. Tujuh hari sebelum kelahiran NU (31 Januari 1926). Ia adalah anak bungsu KH. Muhammad Shiddiq dari istri keduanya Maryam.
KH. Muhammad Shiddiq mempunyai istri tiga orang, yaitu Maryam, Kasmunah dan Mardiyah. Maryam menurunkan sembilan orang anak, yaitu KH. Machfud Shiddiq (pengasuh 3 ponpes putri di Jember), Zainab Shiddiq (pengasuh pesantren putri Zainab Shiddiq), KH. Abddullah Shiddiq (pernah menjadi ketua PBNU Jawa Timur).
Menurut sisilah KH. Achmad Shiddiq adalah keturunan ke 15 dari Joko Tingkir, pendiri kerajaan Islam di Pajang. Secara tarkib dapat disebutkan; KH. Achmad Shiddiq putera KH. Muhammad Shaleh, kyai Abdullah (Lasem) putera kyai Muhammad Shaleh Tirtowijoyo putera kyai Asy’ ari putera kyai Adra’ i putera kyai Muhammad Yusuf, putera mbah Sumbu, putra Raden Sumanegoro, putera Raden Pringgokusumo (Adipati Lasem III), putera Joyonegoro, putera Pangeran Joyokusumo, putera Hadijoyo, putera Pangeran Benowo II, putera Pangeran Benowo I, putera Sultan Dadiwijoyo alias Joko Tingkir alias Mas Karebet.
Bila diusut kedekatannya dengan KH. Hasyim Asy’ ari maka garis mbah Sumbu itulah sisilah KH. Achmad Shiddiq bertemu dengan KH. Hasyim Asy’ ari (pendiri NU).
Pengalaman Pendidikan
KH. Achmad Shiddiq belajar agama kepada ayahnya sendiri, KH. Muhammad Shiddiq. Ia pernah belajar di Sekolah Rakyat Islam (SRI) di Jember. Untuk mendalami agama Islam, KH. Achmad Shiddiq nyantri di Ponpes Tebuireng Jombang di bawah asuhan langsung KH. Hasyim Asy’ ari.
Kitab-kitab yang pernah didalami secara langsung dengan KH. Hasyim Asy’ ari antara lain: Tuhfatul Athtal, Fathul Qarip, Tahnr, Fathul mu’ in (semuanya dibidang hukum Islam), Alfiyah Ibnu Malik (ilmu Bahasa Arab), Arudl wal Qawafi (sastra), Jawahir Al-Kalamiyah (teologi), Waraqat (ushul fiqih), ilmu Fal;ak (astronomi), tafsir Baidawi dan ihya’ Ulumuddin.
KH. Achmad Shiddiq juga pernah mengenyam pendidikan di madrasah Nizamiyah H. Abdul Wahid Hasyim. Bahkan KH. Achmad Shiddiq memperoleh kesempatan menjadi kelompok “Intelektual” santri yang secara khusus dikader oleh KH. Abdul Wahid Hasyim (ayah KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur). Dan dari KH. Abdul Wahid Hasyim ia banyak berdiskusi mengenai perkembangan politik nasional waktu itu.
Aktivitasnya di NU
Aktivitasnya di NU, dimulai dengan memimpin Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Waktu itu ia berumur 19 tahun, tetapi KH. Achmad Shiddiq sudah bisa menjadi koordinator untuk daerah Jember dan Besuki.
Pada saat NU menjadi partai politik (1952), ia menjadi anggota PBNU di bawah Rois ‘Am KH. Abdul Wahab Hasbullah. Pada periode 1956-1959 KH. Achmad Shiddiq menjadi wakil sekretaris umum PBNU yang diketuai oleh KH. Idham Chalid.
Tahun 1985 ketika Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama digelar, kedudukan KH. Achmad Shiddiq adalah penasehat PBNU dengan Rais ‘Am KH. Bisri Syansuri, kemudian KH. Ali Maksum, sedang ketua umumnya masih dijabat oleh KH. Idham Chalid.
Dari hasil Munas ini kemudian menghantarkannya ke jenjang karir yang lebih tinggi. Dan pada muktamar ke 27 (1984) di Situbondo, ia terpelih menjadi Rois ‘Am NU menggantikan KH. Ali Maksum. Jabatan Rois ‘Am ini dikukuhkan kembali dalam muktamar ke 28 di Yogyakarta. Jabatan tersebut diembannya hingga wafat.
Keberadaan KH. Achmad Shiddiq di NU tidak dapat diukur dengan sekedar jabatan Departemen agama serta politik, ia lebih menekuni bidang dakwa dan pendidikan, yakni mengasuh Ponpes. Lembaga pendidikan tradisional ini merupakan warisan yang harus dikelola dan dikembangkan.
Banyak buku tentang kehidupan NU yang telah ditulisnya. Artikel-artikel yang pernah ia tulis juga tersebar di berbagai media massa milik NU. Seperti Risalah NU (Jakarta), Warta NU (Jakarta), Aula (Jawa Timur), dan Jurnal Pesantren (Jakarta)
Kecermatan dan kesetiaan menulis pikiran-pikirannya sendiri adalah sesuatu yang langka bagi kalangan ulama pesantren. Tetapi ia memperkuat barisan ulama pemikir sekaligus penulis di kalangan NU.
Kebiasaan dan Kepribadian
Kepribadian KH. Achmad Shiddiq sangat menjunjung tinggi akhlakul karimah. Penampilan dan perbuatannya selalu mencerminkan budi pekerti yang baik. Berbicara, bertindak dan berbuat tidak lepas dari wujud uswah serta meniru kebiasaan Rasullullah Saw. Pikiranya sangat cemerlang. Kajian keagamaannya cukup luas.
Sehingga semua bidang keilmuan ia mampu menjabarkannya melalui seminar-seminar yang diadakan oleh berbagai Perguruan Tinggi. Ia sangat santun dan rendah hati terhadap siapapun. Namun kewibawaannya tetap memantul dari sinar wajah yang penuh kealiman Nurillahi. Di tangannya tidak pernah lepas tasbih menghintung sejumlah bacaan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.
Dalam hal berpakaian ia suka menutup kepala dengan kopiah haji putih yang dililit dengan sorban. Persis seperti penampilan Pangeran Diponegoro. Kebiasaannya yang ini sulit ditiru oleh santri dan orang lain. Dawam (kebiasaan)nya yang luar biasa adalah menghatamkan Al-Qur’ an tiga hari sekali.
Setiap kali menjadi imam shalat, ia selalu membaca Al-Qur’ an pada rakaat pertama dan kedua setelah surah al-Fatihah. Ia sering menangis ketika membaca Al-Qur’ an, baik ketika shalat maupun di luar shalat, karena tidak tahan menghayati keagungan dan kesucian Al-Qur’ an.
Dalam penerapan pendidikan, ia sangat menjunjung tinggi kemerdekaan berpikir santri dan putera-puteranya. Para santri di didik dan diberi pelajaran khusus tentang “khilafiyah” para imam mujtahid. Sehingga pada pesantren yang diasuhnya ada pengajian “tahsisi” yang didalamnya bermuatan khilafiyah.
Ketekunan dan kecintaannya kepada santri sungguh luar biasa. Ia rela setiap setiap akan mulai shalat berjamaah berkeliling mengunjungi santri-santri yang masih santai dan tidur di kamar, ia bangunkan dengan belaian tangannya yang halus.
Dalam bidang fiqih ia konsisten dengan mazhab Syafi’i. Walaupun pada bidang lain menyangkut hukum Islam ia tidak tabu mengambil pendapat imam mazhab luar Shafi’i. Sesuatu yang sangat ditekankan olehnya bahwa kita tidak boleh talfiq. Setiap ada perkembangan baru, baik politik, ekonomi, sosial budaya atau hankam, ia selalu menyampaikan kepada santrinya. Karena itu modernitas dan wawasan pemikiran santri tetap akurat sesuai dengan perkembangan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar