Periodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan waktu terhadap perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap babak waktu (periode) memliki ciri tertentu yang berbeda dengan periode yang lain.
1. Zaman Sastra Melayu Lama
Zaman ini melahirkan karya sastra berupa mantra, syair, pantun, hikayat, dongeng dan bentuk yang lain.
Zaman ini dikenal tokoh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karyanya dianggap bercorak baru karena tidak lagi berisi tentang istana dan raja-raja, tetapi tentang kehidupan manusia dan masyarakat yang nyata, misalnya Hikayat Abdullah (otobiografi), Syair Perihal Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah. Pembaruan yang ia lakukan tidak hanya dalam segi isi, tetapi juga bahasa. Ia tidak lagi menggunakan bahasa Melayu yang kearab-araban.
3. Zaman Sastra Indonesia
a. Angkatan Balai Pustaka (Angkatan 20-an)
Ciri umum angkatan ini adalah tema berkisar tentang konflik adat antara kaum tua dengan kaum muda, kasih tak sampai, dan kawin paksa, bahan ceritanya dari Minangkabau, bahasa yang dipakai adalah bahasa Melayu, bercorak aliran romatik sentimental.
Tokohnya adalah Marah Rusli (roman Siti Nurbaya), Merari Siregar (roman Azab dan Sengsara), Nur Sutan Iskandar (novel Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan), Hamka (roman Di Bawah Lindungan Ka’ bah), Tulis Sutan Sati (novel Sengsara Membawa Nikmat), Hamidah (novel Kehilangan Mestika), Abdul Muis (roman Salah Asuhan, M Kasim (kumpulan cerpen Teman Duduk).
b. Angkatan Pujangga Baru (Angkatan 30-an)
Cirinya adalah bahasa yang dipakai bahasa Indonesia Modern, temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup masalah kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum intelek, dan sebagainya, bentuk puisinya adalah puisi bebas, mementingkan keindahan bahasa, dan mulai digemari dalam bentuk baru disebut soneta, yaitu puisi dari Italia yang terdiri dari 14 baris, pengaruh barat terasa sekali, terutama dari angkatan ’80 Belanda, aliran yang dianut adalah romantik idealisme, dan setting yang menonjol adalah masyarakat penjajahan.
Tokohnya adalah STA Syhabana (novel Layar Terkembang, roman Dian Tak Kunjung Padam), Amir Hamzah (kumpulan puisi Nyanyi Sunyi, Buah Rindu, Setanggi Timur), Armin Pane (novel Belenggu), Sanusi Pane (drama Manusia Baru), M. Yamin (drama Ken Arok dan Ken Dedes), Rustam Efendi (drama Babasari), Y.E. Tetengkeng (kumpulan puisi Rindu Dendam), Hamka (roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck).
c. Angkatan ‘45
Ciri umumnya adalah bentuk prosa maupun puisinya lebih bebas, prosanya bercorak realisme, puisinya bercorak ekspresionisme, tema dan setting yang menonjol adalah revolusi, lebih mementingkan isi daripada keindahan bahasa, dan jarang menghasilkan roman seperti angkatan sebelumnya.
Tokohnya Chairil Anwar (kumpulan puisi Deru Capur Debu, kumpulan puisi bersama Rivai Apin dan Asrul Sani Tiga Menguak Takdir), Achdiat Kartamiharja (novel Atheis), Idrus (novel Surabaya, Aki), Mochtar Lubis (kumpulan drama Sedih dan Gembira), Pramduya Ananta Toer (novel Keluarga Gerilya), Utuy Tatang Sontani (novel sejarah Tambera).
d. Angkatan ‘66
Ciri umumnya adalah tema yang menonjol adalah protes sosial dan politik, menggunakan kalimat-kalimat panjang mendekati bentuk prosa.
Tokohnya adalah W.S Rendra (kumpulan puisi Blues untuk Bnie, kumpulan puisi Ballada Orang-Orang Tercinta), Taufiq Ismail (kumpulan puisi Tirani, kumpulan puisi Benteng), N.H. Dini (novel Pada Sebuah Kapal), A.A. Navic (novel Kemarau), Toha Mohtar (novel Pulang), Mangunwijaya (novel Burung-Burung Manyar), Iwan Simatupang (novel Ziarah), Mochtar Lubis (novel Harimau-Harimau), Marianne Katoppo (novel Raumannen).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar